22.9.10

Big girls don't cry


It's not you, it's me.

Suara teriakan perempuan dgn nada tinggi dan hampir terisak-isak pagi itu membuat tidur lelap ku berakhir. Tak lama kemudian terdengar suara pria bernada marah mendominasi. Dengan rasa kesal bercampur penasaran, gw mencoba mendengar percakapan mereka, "aduh, lagi-lagi berantem" kata gw dalam hati sembari mencoba kembali tidur. Yup, ini memang sudah menjadi santapan sehari-hari warga kompleks rumah gw. Tetangga gw yg terkenal selalu bertengkar mulut dgn suaminya itu memang selalu bikin orang penasaran. Seperti halnya radio, penyiarnya setiap pagi selalu sama, tetapi isi dari percakapannya boleh saja berbeda dan malah kadang, lebih menarik. Permasalahannya sebenarnya sederhana (mnrt gw). Suami yang menuntut terlalu banyak, dan istri yang udah ngga tahan dengan sikap sang suami. Sang istri bahkan sering "curhat" soal sikap kasar suami -dan sikap ga adil keluarga suami nya- ke nyokap gw. Mungkin benar, perlakuan suami terhadap istrinya ngga adil, dan mungkin ngga salah kalau sang istri -saat emosi- sering ingin minta cerai. Tapi gw bingung, apa dengan begitu semua masalah akan selesai? Gimana dengan anak-anak mereka? Katakan saja mereka sudah besar dan sudah belajar hidup mandiri, lalu gimana pula dengan perasaan mereka? Setelah bertahun-tahun menikah, sepertinya orang2 cenderung melupakan kata itu. Kata yang pernah menjadi pegangan dan bahkan fondasi hubungan mereka. Cinta.


Mundur lebih jauh, gw pengen membahas soal hubungan yang lebih fragile daripada pernikahan: pacaran atau mungkin kurang dari itu. Kadang dalam suatu hubungan, kita cenderung lupa atau lebih tepatnya sengaja melupakan masalah perasaan. Sebenarnya kalau dibilang melupakan masalah perasaan juga tidak tepat. Kadang keadaan disekitar kita menuntut tidak adanya toleransi. Apalagi dengan semua kompleksitas yang ditawari hidup. Sepertinya perasaan sudah menjadi hal yang tabu untuk dibahas secara terang-terangan. Banyak alasan seperti "hidup ini masih panjang, ngapain mikirin masalah hati?" dan kroni-kroninya dipakai untuk menghindari pertanyaan yang menjurus kesana. 


Gw pernah berhipotesis, mungkin karena itu jaman sekarang banyak banget orang yang sakit hati. Ya, kadang kita lupa, sikap menutup bahkan mengurung perasaan inilah salah satu pemicu utamanya. Coba saja liat beberapa puluh tahun lalu, sepertinya ngga ada deh yang namanya "digantung" atau "ttm" atau "hts". Kalau suka ya jalan, kalau ngga ya ngga. Tetapi tetap saja, mau ngga mau kita semua terpengaruh dan suka ngga suka, kita mulai beradaptasi dgn keadaan itu. Sebagai cewe, mungkin kita bakal klepek-klepek dapet perhatian lebih dari orang yang kita suka. Dari sana, kita mulai mengambil asumsi bahwa orang tersebut suka dan sedang berusaha mendekati kita. Memang benar, kita bisa tau bagaimana perasaan seseorang terhadap kita lewat perbuatan mereka. Seiring waktu berjalan, kita pun mulai jatuh cinta sama orang tersebut. Tetapi percaya ngga, hanya dengan satu kalimat, hati kita yang sedang asik-asiknya terbang bisa jatuh dan hancur berkeping-keping. Kalimat seperti :"Emang gw perna bilang gw suka sama lo?" Yup, kalimat itu memang terdengar ngga logis. Ngga mungkin ada asap kalau ngga ada api kan? Pastinya dong si cowo memberi harapan, makanya kita menanggapi dan mulai berharap? Tapi pikir lagi, sepertinya semua argumen kita hanya akan memperkuat statement sang cowo. "Lah, siapa suruh lo berharap?"


Dan sekarang, duduk di kamar ini dan memandang keluar jendela, memori gw mulai mengambil alih. Di tempat yang sama setengah tahun yang lalu, gw duduk dan merenung. Dan anehnya perasaan gw sama. Sama-sama sakit. Sama persis kalau bisa dibilang. Ya karena sebenarnya memang di tempat inilah gw selalu duduk dan melamun saat hati gw kacau. Gw kesini juga bukan karena gw butuh jawaban. Apa coba yang bisa diambil dari pemandangan baju-baju setengah kering yang ditiup angin sore? Tetapi entah kenapa, ada sesuatu yang menghipnotis dari pemandangan ini. Gw menarik nafas dan menghela. Sekilas, hidup gw bertahun-tahun belakangan ini seperti sia-sia dan mungkin bisa dibilang buang-buang waktu, toh pada akhirnya keadaan gw tetap sama, duduk di lantai kamar kosong menatap jemuran ditambah sakit hati. Tetapi gw juga ga menyangkal kalau banyak sekali pelajaran yang gw ambil dari keadaan ini. 


Setelah puas melihat "pemandangan" diluar jendela kamar, gw pun memutuskan untuk mengakhiri proses brainstorming itu. Gw mulai merangkai kata-kata di dalam otak gw sendiri, mencari kesimpulan dari semua pertanyaan dan pernyataan yang gw ajukan tadi. Ya, alangkah baiknya kalau kita semua bisa ngambil kesempatan buat mengutarakan perasaan ke orang-orang yang kita sayang. What if tomorrow never comes? 


But then again, it's not that simple, is it?

1.9.10

...and the reason is you.

This is a post taken from a tumblr account I'm following. I know it may seem like I have nothing more personal to post here (which is true), but trust me, reading this makes me feel safe, somehow.
Untitled writing
The night brings only crickets to interrupt it’s silence. Of course, there is me and you, together, making the rocks turn beneath our feet. We hold each others hands without actually holding them and we tell each other how we feel without speaking a word. We’ve always done this. For most people, I guess it wouldn’t make any sense. How can I feel the softness of your touch and hear the comforting words from your mouth if you do not move a muscle? We never made much sense anyway.
Honestly, nothing between us has ever transitioned smoothly. I often think about how much of an immature asshole you are and you always tell me how much of a bitch I am. Regardless of our heated arguments about you running around and about me always being so confusing, we both never lost interest in each other. Would this interest fade if we were ever truly together? Time and time again, I think out loud “Is a bigger mistake to never try or would trying be the biggest mistake of all?”
But right now, walking next to you, I’m convinced that we were never meant to make any sense. We were never made to always agree on everything. Maybe I deserve to be called a bitch, when I am one. Maybe you need to hear how much of an asshole you can be, so you can stop it. I realize that the perfect relationship, whether official or unofficial, does not mean we have to understand everything. We don’t even have to fully understand each other. In the most imperfectly perfect relationship, we just have to feel.
And oh, how I feel for you.